Amelia Rizky
Amelia Rizky
  • Aug 21, 2021
  • 10437

Ketua F-PPP Menyoal Sanksi Rekomendasi Pemberhentian Jabatan Terhadap Dodi Hendra

SOLOK -    Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Solok, Sumatera Barat dalam Rapat Paripurna DPRD dengan agenda Penyampaian Laporan Keputusan Badan Kehormatan atas hasil Penyelidikan, Verifikasi dan Klarifikasi atas Pengaduan Pimpinan DPRD, Anggota DPRD dan/atau Masyarakat, Jum’at, 20 Agustus 2021, menjatuhkan sanksi terhadap Dodi Hendra dengan merekomendasikan Pemberhentian Jabatan sebagai Ketua DPRD Kabupaten Solok Periode 2019-2024.

Penyelidikan, Verifikasi dan Klarifikasi yang dilakukan BK itu berdasar mosi tidak percaya yang disampaikan 6 dari 8 fraksi atau 27 orang dari 35 anggota dewan terhadap Ketua DPRD Dodi Hendra, dengan dalih dugaan Ketua DPRD bersikap otoriter, arogan dan mengabaikan azas demokrasi dalam memimpin.

Terkait sanksi rekomendasi Pemberhentian Jabatan sebagai Ketua DPRD terhadap Dodi Hendra, Ketua Ffaksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPRD Kabupaten Solok Dr.Dendi, MA, mengatakan bahwa yang dibacakan dan sampaikan dalam sidang paripurna itu adalah laporan Badan Kehormatan tentang hasil penyelidikan berupa rekomendasi yang sifatnya belum merupakan keputusan final. Hal itu sesuai dengan PP Nomor 12 tahun 2018 tentang pedoman penyusunan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat daerah provinsi, kabupaten dan kota, yang mana tahapannya ketika BK sudah merapatkan, lalu hasil rekomendasi BK itu disampaikan di Paripurna.

“Hasil yang disampaikan dalam Paripurna itu hanya sebatas rekomendasi oleh BK bukan sebuah keputusan. Itu yang diatur dalam PP 12 tahun 2018 di pasal 36, 37. Jadi ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui oleh DPRD yakni, Wakil Ketua yang lain menyampaikan hasil rekomendasi BK itu dalam paripurna. Jadi ada Paripurna sekali lagi lalu paripurna untuk pengambilan keputuan terhadap hasil rekomendasi BK tersebut. Dalam Paripurna pengambilan keputusan itu ada dua kemungkinan, yang pertama kemungkinan menyetujui hasil rekomendasi BK, dan yang kedua Paripurna tidak menyetujui hasil rekomendasi BK, " terang Dendi.

Adapun keputusan akhir nantinya tergantung pada jumlah fraksi atau anggota Dewan yang menyetujui atau tidak rekomendasi BK tersebut. Menurut Dendi, bila nanti mayoritas fraksi atau anggota DPRD tidak menyetujui rekomendasi BK maka Dodi Hendra tidak dapat diberhentikan sebagai ketua DPRD, begitupun sebaliknya. Jadi, kembali ditegaskannya, Paripurna itu hanya Paripurna mendengarkan laporan atau rekomendasi BK atas rapat yang dilakukannya terhadap usulan mosi tidak percaya itu, tapi itu belum merupakan suatu keputusan sebelum adanya Paripurna pengambilan keputusan.

“Ini belum ada akibat apa-apa bagi saudara Dodi Hendra. Dia tetap masih sebagai Ketua DPRD yang sah. Jadi rekomendasi yang disampaikan oleh BK itu sama sekali belum menghilangkan haknya sebagai ketua DPRD. Dodi Hendra masih boleh memimpin rapat, dan menggunakan fasilitas yang melekat pada jabatannya selaku ketua DPRD, ” tegasnya.

Mekanismenya, dijelaskan  Dendi, Dodi sah berhenti sebagai ketua DPRD seperti rekomendasi BK jika Paripurna sudah menyetujui, kemudian Paripurna lembaga DPRD menyampaikan kesepakatan atau keputusan DPRD ini kepada Gubernur lewat Bupati, yang artinya DPRD meminta kepada Gubernur SK pemberhentian Dodi Hendra sebagai ketua DPRD.

Jika sudah keluar SK pemberhentian oleh Gubernur itu, selanjutnya diumumkan di Paripurna DPRD, baru mulai saat itulah Dodi Hendra berhenti sebagai ketua DPRD, ” ulasnya.

Kemudian dua orang pimpinan DPRD yang tersisa akan memimpin jalannya roda organisasi DPRD sampai DPRD meminta kepada partai Gerindra sebagai partai pemenang Pemilu 2019 di Kabupaten Solok untuk memutuskan nama yang akan menjadi ketua DPRD penggantinya.

Terkait sikap Fraksi PPP terhadap proses yang tengah bergulir, dikatakan Dendi, karena itu masih merupakan rekomendasi BK maka Fraksi PPP mendengarkan dan akan terus memantau proses-proses yang dilalui oleh BK ketika bersidang.

“Apakah proses yang dilalui oleh Badan Kehormatan ketika menyidangkan Dodi Hendra sebagai ketua DPRD yang teradu sudah sesuai dengan ketentuan sehingga melahirkan rekomendasi, atau malah jangan-jangan ada intervensi-intervensi tertentu kepada BK sehingga keputusannya tidak objektif dan tidak netral, terlebih sebagian besar yakni 4 dari 5 orang anggota BK merupakan mereka yang ikut menandatangani mosi tidak percaya, sehingga sedikit banyaknya tentu akan mempengaruhi hasil pembahasan di Badan Kehormatan, ” sebut Dendi.

Ditekankannya bahwa dia tidak menuduh melainkan hanya untuk memastikan ada atau tidaknya intervensi dari pihak luar, sehingga keputusan yang diambil nantinya objektif dan telah dikaji dari berbagai sudut pandang, multiperspektif serta bukan karena terbawa emosi. Dikatakannya bahwa pihaknya akan melihat secara dalam, dan akan menanyakan langsung kepada anggota BK yang berasal dari Fraksi PPP, yang tak lain adalah ketua BK.

“Kalau keputusan yang diambil benar-benar objektif tentu Fraksi PPP akan menerima. Keputusan yang mutlak adalah keputusan Paripurna nantinya. Kalau nanti Paripurna menyetujui rekomendasi BK sebagai rekomendasi yang patut diberikan kepada Dodi Hendra sebagai ketua DPRD maka tentu itu akan kita ikuti. Namun jangan sampai ada keputusan Paripurna atau keputusan lembaga Badan Kehormatan merugikan seseorang. Kalaupun Dodi Hendra selaku ketua DPRD berdasar rekomendasi BK benar-benar layak untuk dijatuhi hukuman, ya apa boleh buat, tetapi jangan sampai keputusan itu merugikan hak-hak orang, yang mana tidak patut diterimanya. Jangan kesalahannya kecil dibuat besar sehingga dia tidak layak menerima keputusan itu, inikan termasuk sikap mendzolimi orang, ’ terang Dendi.

Ketua DPC PPP Kabupaten Solok itu mengaku juga tidak tahu pasti tentang pelanggaran kode etik sedang yang dilakukan oleh Dodi Hendra, karena menurutnya jika berdasar sikap arogansi Dodi Hendra sebagai ketua DPRD seperti yang tertuang dalam mosi tidak percaya itu, apakah merupakan sesuatu yang dapat dibuktikan atau tidak, sehingga kalaupun dapat dibuktikan, apakah itu masuk dalam kategori pelanggaran sedang, kecil atau pelanggaran berat sebagai dasar terhadap rekomendasi BK.

Dikatakannya, bahwa hal itu mesti dikaji lagi. Dia khawatir, mestinya kesalahan ini merupakan kesalahan kecil tapi karena anggota BK itu adalah orang-orang yang sedari awal ikut menandatangani mosi sehingga mempengaruhi hasil rekomendasi yang dikeluarkan.

Ditambahkannya, sikap arogansi ataupun tidak kolektif dan kolegial, merupakan penilaian yang bersifat asumsi berdasarkan persepsi seseorang. Sangat lumrah terjadi penilaian terhadap seseorang  itu berbeda-beda oleh setiap orang tergantung cara pandang. Lain halnya dengan kesalahan yang dapat dibuktikan secara hukum.

“Jangan sampai keputusan kita tidak objektif dan merugikan orang lain. Harus kita lihat secara polistik dan universal, karena ini sesuatu yang fatal akibatnya. Dalam mengambil keputusan ini mesti hati-hati atau jangan-jangan saudara Dodi sebagai orang yang merasa dizalimi hak-haknya atas keputusan itu justru melakukan upaya-upaya hukum. Ini juga yang kita khawatirkan. Jangan sampai keputusan itu karena terbawa emosi atau terbawa faktor subjektif, karena kita tidak suka lalu kita putuskan dia tanpa mempertimbangkan norma-norma yang lain Jadi mesti kita lihat dari berbagai sudut pandang, banyak hal yang mesti kita kaji sehingga keputusan itu bisa diterima, ” terang Dendi mengakhiri.

Secara terpisah, terkait sanksi rekomendasi pemberhentian jabatan terhadap dirinya, Dodi Hendra menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan upaya hukum atas tindakan yang menurutnya merupakan sebuah kezholiman terhadap dirinya. Selain itu, dia menyatakan juga menunggu keputusan paripurna sesuai pasal 37 PP Nomor 12 tahun 2018.

“Kita akan melakukan upaya hukum atas kezholiman ini, dan kemudian kita serahkan ke partai. Karena kita kerja ihklas dan patuh pada keputusan partai, ” ujar Dodi.

Dodi Hendra pun mengaku, terkait hal itu telah digelar rapat di DPD Partai Gerindra dan ketua DPC juga. Namun dikatakannya, untuk hasil rapat belum bisa diberitahukannya. (Amel)

Penulis :
Bagikan :

Berita terkait

MENU